WABGF |chapter 4|





Freya berjalan menyusuri koridor bersama Pram di sampingnya, mereka berangkat bersama ke sekolah di antar oleh Pak Aryo. Selama kaki Freya belum benar-benar sembuh, Hasnia dan Nisrina sepakat meminta Pram selalu berangkat bersama dengan Freya dan meminta Pram untuk lebih ekstra menjaga Freya. Pram jelas menyetujuinya, ia malah senang diberikan tugas seperti itu dan sebisa mungkin Pram akan sangat bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan.

"Pam, kenapa ibu sama nena se-strict itu ya? Gue selalu di treat kayak bocah dan nggak pernah merasa bebas aja." ujar Freya, memecah keheningan.

Pram menatap Freya yang sedari tadi berjalan perlahan sembari sesekali memapahnya, "Itu bentuk rasa sayang mereka, Fey."

Tanggapan Pram membuat Freya menghentikan langkahnya lalu menoleh kearah lelaki di sampingnya. "Tapi gue nggak pernah merasakan rasa sayang itu, Pam. Gue nggak pernah merasa utuh,"

Pram menatap Freya yang kini menundukkan kepalanya, sahabatnya itu pasti kini sedang menangis. "Fey, nggak pernah ada keluarga utuh yang sempurna di dunia ini. Lo cuma selalu denial hal baik yang lo rasakan karena rasa marah." ucap Pram, menggengam tangan Freya yang mengepal kuat.

Mendengar isakan tertahan Freya, Pram membeku. Seluruh tubuhnya seolah tidak dapat digerakkan, suara pilu yang jarang sekali Freya keluarkan membuat perasaan sedih menjalar ke seluruh tubuh Pram. Mereka sedang berada di koridor utama, jika Pram membiarkan Freya terus menangis, mereka berdua pasti jadi pusat perhatian. Koridor mulai ramai oleh siswa maupun siswi yang terus berdatangan.

Pram mendekat kearah Freya, hingga dada bidangnya menubruk kepala perempuan itu pelan lalu menunduk. "Fey, banyak yang lihat. Lo kalau masih mau nangis, jalan dibelakang gue ya. Tutupin pakai punggung gue aja, kan lebar." tawar Pram.

Akhirnya Freya berjalan tepat di belakang Pram sembari meremas seragam yang dikenakan lelaki itu sebagai tumpuannya berjalan dan begitu terus hingga sampai di kelasnya.

"Mau masuk atau cabut?" tanya Pram. "Gue temenin."

Freya menggeleng, ia mengambil selembar tisu yang di sodorkan oleh Pram. "Nggak. gue ada ulangan harian Fisika. Kalau cabut nanti gue susulan sendiri." tolak Freya.

Pram mengangguk, "You okay?" tanya Pram memastikan.

Freya mengangguk. "I'm okay, Pram. Gue terbawa perasaan karena tadi sempat debat sama ibu. Lo tau Pram, tadinya bahkan ibu udah sewain bodyguard buat gue dan nggak pernah habis gue pikirkan sampai sekarang. Kenapa harus seberlebihan itu sih?!" ucap Freya.

"Terus lo tolak?" 

"Jelas gue tolak mentah-mentah lah, lo pikir gue istrinya Barrack Obama pakai di kawal bodyguard segala," sungut Freya.

"Keren kali, Fey." 

"Nggak usah ngaco deh, Pam. Nggak lucu banget tiap kemana-mana, gue harus di intilin pria berotot berpakaian serba hitam gitu." Membayangkan hal tersebut, Freya bergidik geli.

"Jadi gue, yang sekarang jadi bodyguard lo?" tanya Pram, iseng.

"Kalau lo, sekarang dan sampai selama-lamanya juga emang harus jadi apa aja buat gue. Mau, ya, Pam." ujar Freya.

Pram tersenyum, lalu mengangguk. "Janji, jangan pernah kenapa-napa ya, Fey. Janji, jangan pernah mengorbankan diri lo demi siapapun dan atas alasan apapun." 

Freya mengangguk. "Thanks, Pam."

"See u di jam isitrahat. Jangan dulu ke kantin sebelum gue jemput kesini." pesan Pram, yang dihadiahi anggukan patuh oleh Freya.

Pram meninggalkan Freya yang kini berjalan masuk ke dalam kelasnya, suara heboh Yaksha dan Farah menyambutnya saat ia sudah duduk di bangku yang biasa ia tempati- di sebelah Farah.

"Lo sakit apa, Fey?" tanya Yaksha tak sabaran.

"Kok pesan gue nggak dibalas, telepon gue juga nggak lo angkat. Gue khawatir banget tahu, Fey." protes Farah.

"Oke, guys. Calm down, and silent please. Mulut gue cuma satu, gue jawab pertanyaan nya juga satu-satu." 

Yaksha dan Farah langsung mengunci mulutnya masing-masing. Keduanya menurut seperti seekor kucing pada majikan nya.

"Gue keseleo dan luka di lutut karena jatuh, terus gue sempat demam." jelas Freya singkat.

Yaksha hanya diam, ia masih memerhatikan Freya dengan saksama berharap ada lagi satu atau dua kalimat berisi penjelasan dari mulut temannya itu. Namun nihil.

"Udah segitu doang?" tanya Yaksha. ia masih sangat penasaran dan menunggu cerita lain dari Freya.

"Yaa, that's it. That's all." 

"Bubar Far, bubar." ucap Yaksha.

Freya menatap tidak mengerti kearah kedua temannya itu bergantian, "Aneh deh, lo pada. Terus emang lo berdua maunya gue kenapa? Gagal ginjal, hah?" tanya Freya kesal.

"Nggak gitu juga, oneng!" balas Yaksha dan Farah berbarengan tanpa sengaja.

Freya menggeleng pelan, ia tidak percaya Yaksha dan Farah yang seperti Tom and Jerry bisa sekompak itu.

Tepat pukul tujuh, bel masuk pelajaran pertama berbunyi nyaring. Pak Masani- Guru senior mata pelajaran fisika di Stairwell Highschool itu masuk dengan buku paket fisika di tangannya dan penggaris panjang cukup besar andalannya yang selalu beliau bawa setiap kali mengajar di kelas.
"Selamat pagi, anak-anak." 

"Pagi, Pak." jawab satu kelas serentak. 

"Ada kabar baik dari saya hari ini dan pasti kalian akan senang sekali mendengar kabar ini."

"Apa tuh, pak?" celetuk Pandji yang duduk di barisan belakang.

"Ulangan Harian fisika hari ini, resmi saya batalkan," sebelum Pak Masani menyelesaikan kalimatnya, sorak sorai dari kelas IPA 3 pagi hari itu ramai dan riuh sekali.

"Baik, dengarkan saya dulu sebentar. Selain itu, hari ini juga kelas kita kedatangan dua murid baru."

"Wah, cewe sih ni." bisik Adam pada Dennis, teman sebangkunya.

"Gila, Dam udah ada Erika juga lu." Ingat Rifki

"Kan kuat kan pusat, perbanyak cabang. Yaa, ga, Dam." celetuk Pandji dengan wajah tengilnya.

"Yoi" beo Adam

"Silakan masuk." ucap Pak Masani mempersilakan.

Seorang laki-laki betubuh jangkung, berparas nyaris sempurna membuat seluruh perempuan di dalam kelas melongo karena tidak ada bentukan setampan itu sebelumnya di seantero Stairwell kecuali Freya yang kini fokus membaca novel yang baru saja dibelinya minggu lalu. Tak lama, seorang perempuan menyusul dengan wajah yang tak kalah ayu, berkulit hitam manis.

"Silakan perkenalkan diri kalian."

"Saya Marvel Delio."

Suara lelaki yang kini memperkenalkan diri di depan kelas tidak sedikit pun membuat Freya berpaling dari buku yang di bacanya.

"Saya Gienka Haura, kalian bisa memanggil saya Haura. Semoga kita bisa berteman baik." 

Freya menutup novelnya, ia menatap kearah seorang perempuan yang kini berdiri penuh percaya diri. Kedua matanya menatap Freya penuh dengan tatapan yang tidak dapat diartikan oleh Freya sendiri. Tangan Freya meremas rok nya di bawah meja, kegugupan melandanya. Kali ini, Freya benar-benar menyesal telah menolak ajakan Pram untuk membolos. Freya hanya ingin Pram datang ke kelasnya dan membawanya pergi jauh, sehingga ia tidak perlu mengikuti kegiatan belajar mengajar hari ini dan Freya tidak harus berpura-pura merasa nyaman dan tidak risih karena harus kembali bersatu dalam kelas dengan seseorang dari masa lalu yang telah melakukan perundungan terhadapnya sekaligus menorehkan luka batin yang sampai saat ini selalu segar dalam ingatan Freya.


•••


Bel istirahat berbunyi. Setelah Pak Masani meninggalkan kelas, Freya langsung bangkit dari duduknya, pergelangan kaki yang sempat cedera membuatnya kesulitan berlari. Jangan kan berlari, berjalan normal pun kaki Freya masih terasa nyeri. Akhirnya, Freya memilih berjalan agak cepat dan menahan rasa sakitnya. Saat ini, Freya hanya ingin cepat sampai di perpustakaan dan menunggu Pram datang untuk menemaninya. Menemani Freya dan segala rasa takut juga cemas yang kini hinggap dalam benak nya. Freya menatap layar ponsel nya, satu pesan balasan masuk.

Gue kesana, Fey. Diam, jangan pergi kemana-mana.

Freya menatap kosong kearah rak-rak yang dipenuhi oleh ratusan buku. Tanpa sadar butiran bening mulai memenuhi kelopak matanya. Suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari diikuti pintu yang terbuka membuat Freya refleks mengusap cairan bening yang sempat luruh membasahi pipinya.

"Fey," Panggil Pram.

saat mendapati Freya yang duduk di meja paling ujung dekat jendela, Pram melangkah cepat menuju kearahnya. Freya menatap Pram dengan tatapan yang tidak dapat diartikan, namun satu hal yang Pram ketahui bahwa sahabatnya itu tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

"Fey, lo ba--" Ucapan Pram terhenti Freya kini memeluknya. Tubuh sahabatnya itu sedikit begetar, seperti ingin menangis namun tertahan.

"Hey, you okay?" tanya Pram dengan nada khawatir.

Freya menggeleng. "I'm not. I'm scared, Pam."

"What makes you scared?" tanya Pram lagi, setelah Freya melepas pelukan nya.

"Haura, she is back. Sooner or later, i think i'll lose my self anymore."

Tanpa Freya sadari, Pram mengepalkan jemari tangan tepat di atas paha nya di bawah meja. Lalu berusaha menahan ekspresi geram dan marah di wajah nya, dengan senyum tipis yang berharap dapat menenangkan, Pram menggenggam pelan jemari Freya.

"I'm here. You'll never lose yourself anymore." ucap Pram, meyakinkan. Pram membawa kepala Freya ke dada nya, lalu mengusap pelan surai halus berwarna hitam legam itu.

"I'll try to survive but, Pram, kalau mungkin nanti gue udah nggak bisa lagi, jalan satu-satunya adalah pindah sekolah." ucap Freya. Raut wajah cemas, sedih, dan takut itu mudah sekali terbaca oleh Pram. Freya sudah cukup kuat bertahan dan berjuang sampai sejauh ini. Dalam hati, Pram berjanji tidak akan pernah membiarkan Freya mengulang kesakitan nya lagi.

"Ekhm,"

Suara deheman berat sedikit tertahan yang terdengar setelah suara pintu perpustakaan tertutup, membuat Freya refleks mengusap sisa cairan bening yang menempel di pipi nya dan membenarkan posisi duduk agak menjauh dari Pram. Freya menunduk dalam, menyembunyikan wajah sembab nya.

"Freya?" 

Pram yang sedari tadi menatap lelaki jangkung menggunakan seragam sama sepertinya dan Freya itu mengerutkan alis bingung. Pram tidak pernah melihat lelaki ini sebelumnya.

"Ada apa?" Saut Pram, mewakili keterdiaman Freya.

"Cewe samping lo sariawan? atau bisu?" Sarkas lelaki itu dengan wajah datar tanpa ekspresi. 

Mendengar itu, Freya menengadahkan wajahnya menatap lelaki itu tidak terima.

"Lo?!!" Beo Freya, cukup kaget. Lelaki itu yang kemarin malam mengusir nya secara kasar, kini mengenakan seragam yang sama dengan nya dan Pram. Itu artinya, mereka satu sekolah. Mimpi buruk apa Freya semalam?





***









Post a Comment

0 Comments