WABGF |chapter 3|

 


Freya berusaha mengimbangi kekuatan dan kecepatan berlari dari lelaki yang berada di samping nya, lengan nya di genggam kuat supaya ia tidak tertinggal. Freya mulai terengah, jika lengan nya tidak ditarik mungkin Freya memilih berhenti. Tanpa memerhatikan jalan, Freya terus memaksakan diri untuk berlari, mengikuti lelaki yang tanpa sengaja ia temui tadi sehingga Freya kurang berhati-hati dan tersandung sebuah batu cukup besar.

"Awsh," ringis Freya. Lengan nya masih dalam genggaman lelaki itu, tubuh nya jatuh terduduk, setengah berdiri. Namun pergelangan kaki sebelah kanan nya terasa amat nyeri, karena posisi jatuh yang bertumpu pada kaki bukan lutut, sepertinya Freya terseleo.

"Ayo, lima ratus meter lagi kita sampai." ucap lelaki itu sembari berjongkok di hadapan Freya.

Freya hanya menunduk, ia memerhatikan pergelangan kaki nya dan berusaha berdiri. Namun rasa nyeri yang amat sangat kembali terasa walau hanya dengan menapak kan kakinya saja.

"Ayo!" Lelaki itu berusaha memapah Freya, lalu berjalan cukup cepat.

Freya yang tidak bisa lagi menahan sakitnya, ia berhenti lalu menduduk kan dirinya di tanah.

"Sakit banget, gue nggak bisa tahan lagi." ucap Freya, selain menahan sakit ia juga menahan butiran bening yang ingin sekali meluncur dari kelopak matanya. Freya terlalu malu untuk itu, dan ia juga tidak mau dianggap cengeng ataupun manja.

Freya berusaha mengatur napas nya, ia memerhatikan bagian kaki nya. Ternyata selain nyeri di bagian pergelangan kaki, lutut nya pun tergores aspal dan menimbulkan luka cukup dalam.

"Hiks, lutut gue juga berdarah." ucap Freya dalam isakan nya. Masa bodoh soal anggapan cengeng dan manja, Freya sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Lelaki itu berjongkok, menatap wajah Freya yang sudah banjir air mata. Keringat yang menetes di dahi Freya karena kelelahan berlari bercampur dengan butiran bening yang terus meluncur dari kelopak mata nya. Freya mengusap wajahnya menggunakan punggung tangan, sembari mengontrol diri supaya dapat segera menghentikan tangisan nya sendiri.

"Cuma luka segitu, cengeng!"

Freya menengadahkan kepala nya, ia menatap lelaki bertubuh jangkung di hadapan nya itu dengan tatapan kesal. Bahkan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membandingkan luka yang di derita dirinya ataupun lelaki sarkas dan menyebalkan itu. Lagi pula, kalimat tidak etis itu tidak seharusnya di ucapkan.

"Ya udah, sana lo pergi. Gue mau minta jemput Pak Aryo aja. Lagian kata ibu juga, pulang nya gue bakal di jemput."

Lelaki itu mengacak rambut nya kasar, lalu kembali berjongkok tepat di hadapan Freya. "Ck, nyusahin."

Dahi Freya mengerut bingung, "Nyusahin apa sih?! Kan gue udah bilang, lo pergi aja sana!"

"Cepat naik, atau gue berubah pikiran." 

Freya memutar kedua bola mata nya malas, jika memang dirinya sangat menyusahkan dan membebani, kenapa lelaki ini masih bersikeras ingin menggendong nya?

"Sangat mudah untuk gue memilih ninggalin lo, tapi kasihan aja kalau lo jadi korban begal. Soalnya kemaren kan sempat ada kejadian begal tu di daerah sini." 

Freya menatap lelaki yang sedang memunggungi nya dengan tatapan serius, lalu bergidik ngeri membayangkan jika hal mengerikan tersebut terjadi padanya.

Freya berusaha menyandarkan tubuhnya di bahu lelaki itu sembari menahan sakit di kaki nya. 

"Udah?"

Freya mengangguk, "Iya."

Sepanjang lima ratus meter perjalanan, baik Freya ataupun lelaki yang menggendongnya itu, keduanya hanya bungkam. Freya memilih memejamkan mata nya, ia mengantuk namun juga merasa pergelangan kaki nya mulai terasa lebih nyeri dari sebelumnya. Sedangkan, lelaki itu hanya terus berjalan secepat mungkin dengan seorang perempuan dalam gendongan nya.

Freya menatap kagum sebuah rumah berlantai lima yang ada di hadapannya. 

"Turun." pinta Freya, menepuk bahu lelaki itu.

"Diem deh, lagian lo juga nggak bisa jalan kan."

Lelaki itu terus berjalan, pintu terbuka otomatis saat lelaki itu berkata 'open' lalu berjalan lebih ke dalam sedikit terdapat sebuah lift yang menghubungkan setiap lantainya. Freya memasuki lift bersama lelaki yang masih terus menggendong nya. Lift berdenting pelan, saat pintu nya terbuka, Freya langsung di suguhkan pemandangan ruangan dengan design yang cukup mewah. Lelaki itu menurunkan Freya dari dalam gendongan nya dan mendudukkan nya di sebuah sofa besar nan empuk.

"Ini rumah lo?" tanya Freya, matanya menatap keseluruh penjuru ruangan.

"Bukan." jawab lelaki itu singkat.

"Terus rumah siapa? lo nggak sopan banget sih masuk rumah orang tanpa izin?!" 

"Diem bisa? Lo berisik!" ucap lelaki itu sarkas.

Freya menatap lelaki yang kini membawa dua gelas berisikan air mineral, lalu menyodorkan satu gelas ke arah nya.

"Lain kali kalau lihat gue di situasi yang sama, lo nggak usah sok nolong atau bantu."

Freya menatap lelaki yang duduk di hadapannya dengan tatapan tidak mengerti, ia tidak habis pikir bahwa ada orang yang mengalami kekerasan fisik, di siksa habis-habisan dan ketika ada orang lain yang membantu nya dia malah bicara ngawur dan menolak untuk di tolong.

"Iya, sama-sama." ucap Freya, sekena nya.

Freya membuka resleting tas nya, ia mengambil ponsel lalu menghubungi ibu nya dan mengirimkan lokasi nya saat ini supaya Pak Aryo lebih mudah menjemputnya.

"Lo ada kotak P3K? Atau obat lain semacam betadine gitu nggak?" tanya Freya.

Tanpa menjawab, lelaki itu langsung hengkang dari hadapan Freya untuk mengambil barang yang Freya minta. Tidak lama kemudian ia datang dengan kotak berukuran sedang dalam genggaman nya.

"Boleh minta tolong, ambilin air hangat sama kain?"

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, lagi-lagi lelaki itu menuruti permintaan Freya lalu kembali dengan sebuah wadah stainles berisi air hangat dan handuk putih berukuran kecil. 

"Terima kasih." ucap Freya tulus, awalnya Freya pikir lelaki itu tidak akan mau dimintai tolong. Namun nyatanya, lelaki itu menuruti perintahnya dengan begitu mudah. "Sekarang, lo kompres dulu wajah lo atau bagian lain yang memar pakai handuk itu." tambah Freya.

Lelaki yang berada di hadapan nya terdiam cukup lama, ia hanya menatap kosong kearah air dalam wadah stainless itu lalu menggeleng.

"You better carrying yourself first."

"I do, tapi lo dulu. Luka gue gampang, ada nyokap di rumah yang pasti ngurusin gue." jelas Freya. Selain di wajah nya, Freya juga mengamati lebam lainnya di sepanjang lengan lelaki itu.

"Ck, nggak usah." tolak lelaki di hadapannya terang-terangan.

Freya akhirnya memutuskan untuk pindah posisi duduk dan menghampiri lelaki itu di seberang nya. Freya berusaha mengitari meja berukuran sedang di hadapannya, berdiri dengan tumpuan pada sebelah kakinya. Setelah tepat berada di samping lelaki itu, Freya mengambil handuk di atas meja lalu mencelupkan nya ke dalam wadah berisi air hangat kemudian memerasnya.

Freya menyodorkan handuk kecil yang sudah basah dengan air hangat itu kearah lelaki di sampingnya, "Sendiri, atau gue bantu?" tawar Freya.

Lelaki itu bergeming di tempat nya, larut dalam hening. Tidak menjawab apapun, tidak menolak atau mengiyakan. Akhirnya Freya berinisiatif sendiri untuk membantu nya.

"Bisa agak nengok kesini nggak? Kalau gitu gue nggak bisa lihat bagian mana aja yang memar." pinta Freya, dan yang membuatnya terkejut adalah lelaki itu mengindahkan permintaan nya.

Freya memerhatikan seluruh bagian wajah lelaki itu, hampir semuanya memar-memar. Sudut bibir sebelah kanan yang selain memar juga sedikit sobek, pelipis kiri, sudut mata kanan yang juga sobek, pipi, hidung. Freya mulai menempelkan handuk itu ke bagian-bagian tersebut, ia meringis ketika menyentuh bagian yang terdapat memar menggunakan handuk sekaligus terheran-heran. Freya tahu, luka itu pasti teramat nyeri. Tapi tidak ada reaksi apapun dari lelaki itu, ringisan pelan pun tidak terlontar sedikit pun. Lelaki itu hanya diam mematung.

Freya menatap nanar lelaki di hadapannya, hal ini pasti sudah terjadi lebih dari sekali dan entah kenapa Freya ingin membantu nya. Freya ingin membantu lelaki yang dengan tatapan kosong nan sendu nya itu untuk terlepas dari kekerasan fisik yang dialaminya meski Freya tidak tahu apa-apa. Tanpa sadar Freya meneteskan air matanya, hal itu tidak luput dari pandangan lelaki itu.

"Ck, gue nggak butuh dikasihani." ucap lelaki itu tiba-tiba, lalu menarik kasar handuk yang Freya gunakan untuk membantu mengompres memarnya.

"Keluar." lelaki itu berkata dingin, tajam dan menusuk.

"Abis itu, memarnya lo olesin pakai sa--" 

"Keluar!" 

Freya mengangguk, baik, ia tidak ingin menjadi pelampiasan amarah lelaki di sampingnya. Freya berusaha secepat mungkin membawa barang-barang miliknya lalu segera meninggalkan ruangan itu dengan terpincang-pincang karena nyeri di pergelangan kakinya yang tidak kunjung hilang. Lift sampai di lantai bawah tepat suara deru mobil yang biasa Pak Aryo gunakan untuk menjemputnya. Melihat anak majikan nya kesulitan berjalan, Pak Aryo turun dan membantu memapah Freya untuk sampai ke mobil.

"Haduh, Non, kakinya terluka." ucap Pak aryo saat tanpa sengaja melihat lutut Freya yang mengalami luka terbuka dan mengeluarkan darah.

Freya tersenyum menenangkan, "Nggak apa-apa, pak. Luka dikit aja, nanti dirumah jangan heboh bilang ke ibu, ya. Biar saya yang jelaskan." ucap Freya dibalas anggukan oleh Pak Aryo.


•••


Nisrina berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan dokter pribadi keluarganya yang dua puluh menit lalu ia telepon. Raut wajahnya begitu khawatir, ia tidak bisa melihat putrinya terluka.

"Bu, udah dong. Duduk aja, jangan berdiri terus gitu." ucap Freya, ia jadi pusing sendiri melihat ibunya yang berdiri lalu mondar-mandir dengan segala keresahan yang dirasakannya.

"Freya nggak apa-apa kok, ini luka dikit aja." tutur Freya berusaha menenangkan ibunya, namun yang ia katakan tidak sepenuhnya benar. Freya justru merasakan perih yang amat sangat akibat luka yang cukup dalam di lututnya.

"Kamu tuh abis kenapa sih, Fey? Jujur sama Ibu." tuntut Nisrina, ia tahu bahwa putrinya itu menyembunyikan sesuatu.

"Tadi kan Freya udah bilang, Freya jatuh. Freya lari kenceng, terus jatuh." jelas Freya singkat.

"Terus sepeda kamu kemana? Pak Aryo bilang, dia lihat kamu udah luka begitu dan nggak bawa sepeda. Lokasi yang kamu kirim juga bukan tempat foto copy biasanya," Nisrina menatap Freya intens, mencari kebohongan di mata putrinya.

"Ta--"

"Permisi bu, biar Freya saya periksa terlebih dahulu." ucap dr. Wahyu, memotong ucapan Freya yang baru saja akan menjelaskan soal kejadian tadi.

"Baik. Silakan, dok." ucap Nisrina.

dr. Wahyu memeriksa Freya menggunakan stetoskop. Setelah dirasa semua normal, dr. Wahyu langsung membersihkan luka di lutut Freya, kemudian di perban supaya tidak terinfeksi udara luar.

"Freya baik-baik saja, bu. Hanya tinggal merawat luka di bagian lutut nya saja hingga mengering." jelas dr. Wahyu.

"Baik, dok. Terima kasih banyak atas waktunya." ucap Nisrina. Walaupun dokter Wahyu adalah dokter pribadi keluarganya, Nisrina merasa tidak enak karena sudah meminta beliau untuk datang selarut ini.

"Tidak masalah."

"Baik, mari saya antar ke depan." tawar Nisrina.

Freya tersenyum kearah dokter Wahyu, "Terima kasih, dok." dibalas anggukan oleh dokter Wahyu.

Freya merasakan pergelangan kakinya terus berdenyut nyeri, namun ia memilih diam dan tidak mengakui cedera di pergelangan kaki nya pada Nisrina-ibunya. Freya yakin Nisrina pasti akan lebih khawatir lagi jika mengetahui hal itu. Tidak lama Nisrina kembali dan mengambil posisi duduk di sebelah Freya.

"Lanjutkan."

Freya menunduk, ia bukannya tidak tahu maksud ibunya. Namun Freya sangsi, ibunya pasti akan memarahinya jika Freya menceritakan semua hal yang terjadi.

"Ibu janji dulu, ya, jangan marah."

"Iya."

Freya menyodorkan ponselnya yang menampilkan galeri berisikan video, "Ibu tonton dulu video itu."

Sesuai permintaan putrinya, Nisrina meng-klik tombol putar di layar ponsel milik putrinya yang otomatis menampilkan sebuah video amatir seorang lelaki yang sedang dipukuli dan ditendang. Video tersebut hanya berdurasi lima belas detik.

Setelah video selesai, Nisrina menatap Freya intens. "Maksudnya apa? jelaskan!"

"Tadi Freya nggak sengaja lihat dia dipukulin, akhirnya Freya berhenti. Freya cuma mau nolongin dia, karena kalau terus dipukul begitu dia bisa luka parah. Freya langsung mukul bapak-bapak yang mukulin dia terus kabur sama dia. Nah, waktu kami berdua lari, Freya nggak hati-hati terus jatuh. Udah itu aja." jelas Freya, sebisa mungkin ia bicara dengan intonasi meyakinkan.

"Fey, jangan lagi terlibat. Kamu nggak akan bisa bantu dia." ultimatum Nisrina membuat Freya terkesiap.

"Loh, Freya cuma nggak tega dia luka-luka dan kesakitan kayak gitu, bu." ucap Freya.

"Lagian video itu juga bisa dijadikan bukti untuk lapor ke polisi, kan. Jadi berarti, Freya bisa bantu dia." tambah Freya, ia cukup optimis mengenai hal ini.

Nisrina kembali fokus pada ponsel Freya yang berada di tangan nya. "Videonya udah ibu hapus. Jangan lagi terlibat masalah orang lain."

Freya merebut ponsel nya dari tangan Nisrina, "Ibu apaan sih, kenapa di hapus?!" 

"Dia bisa menolong dirinya sendiri, Freya. Percuma kamu membantu orang lain jika berujung merugikan diri kamu sendiri." 

Freya menggeleng kuat, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran ibunya sendiri. "Freya nggak ada dirugiin apa-apa kok."

"Kamu terluka, Freya! Kamu nggak ngerti betapa ibu selalu khawatir dan takut sekali kehilangan kamu." tutur Nisrina penuh penekanan.

"ta--"

"Istirahat, besok kamu nggak usah masuk sekolah dulu. Biar Ibu yang mengurus surat dokter." ucap Nisrina final, meninggalkan Freya yang masih duduk di sofa dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. 

•••


Pram berjalan di koridor sembari menatap layar ponsel nya. Pesan yang semalam ia kirimkan pada Freya belum juga di baca. Saat tepat di depan pintu kelasnya, Pram membalikkan tubuh lalu berjalan cukup cepat menuju kelas Freya. Masa bodoh soal bel masuk yang sudah berbunyi, Pram hanya ingin memastikan keadaan Freya.

Sampai di kelas Freya, Pram menghembuskan napasnya kasar. Sudah ada guru yang masuk dan kini sedang menjelaskan pelajaran. Akhirnya Pram hanya bisa mencuri pandang lewat jendela yang tidak tertutup gorden, mencari keberadaan Freya. Pram mengedarkan pandangan nya lalu melihat kursi kosong di sebelah Farah, berarti Freya tidak masuk. Pram membuka kunci layar ponselnya, ia mencari kontak bernama 'sink' lantas menekan tombol dial in.

"Halo," suara agak parau dari seberang sana, menyapa telinganya.

"Lo sakit, Fey?" tanya Pram, langsung ke inti.

"Iya, Pam. Gue demam tapi udah turun."

"Oke, pulang sekolah gue ke rumah lo."

"Nggak usah, bukannya lo ada sparing?"

"Nggak ada."

"Nggak usah ke rumah gue, lagian gue di rumah Nena. Lagi mau di urut."

"Oke. Pulang sekolah, gue ke rumah Nena. Bye, Fey, udah bel." Pram menutup telepon nya sepihak lalu berlari secepat mungkin menuju kelasnya sendiri di gedung sebelah.

"Permisi, bu. Maaf saya terlambat." ucap Pram, setelah mencium tangan bu Hermin- guru ekonomi kelas IPS-3

"Dari mana kamu, Pram? kok, yoo, bisa terlambat begitu." tanya bu Hermin dengan logat jawa khasnya yang sangat kental. "Dari kantin, ya?"

Pram menggeleng, "Nggak, bu. Saya abis dari gedung IPA." jujur, Pram.

"Ya sudah, kamu boleh duduk." Pram mengangguk sembari mengucap terima kasih.


•••


Bel pulang berbunyi, membuat seluruh murid kelas  IPS-3 bersorak girang. Pram segera membereskan buku-bukunya lalu memasukkan nya ke dalam tas. Melihat Pram yang begitu terburu-buru, membuat Barry keheranan.

"Sparing masih satu jam lagi, Pram. Lu buru-buru amat dah." celetuk Barry.

"Hari ini izin, Bar. Gua balik duluan." ucap Pram, menyampirkan tas gendong di bahu sebelah kirinya.

"Wah ngaco nih, hitungan hari kita turnamen, Pram, dan semuanya udah sepakat kalau nggak ada izin-izin. Lagi, lo cabut kemana sih?" tanya Barry.

"Udalah, lagipula gue belum pake jatah izin yang udah dikasih."

"Tapi bukan berarti lo mau pakai izin itu pas udah mau turnamen, Pram." beo Farhan.

"Sorry, bro. Kali ini gue nggak bisa. Maybe, next time." ucap Pram final sembari menepuk bahu Farhan dan Barry bergantian. 

Pram berlari kecil menuju parkiran, untung saja hari ini ia membawa kendaraan pribadi sehingga ia tidak perlu membuang waktu dengan menaiki kendaraan umum. Pram mengendarai motornya cukup cepat, sehingga hanya butuh dua puluh menit saja untuk sampai di rumah Hasnia- Nenek Freya.

"Assalamualaikum." ucap Pram setelah mengetuk pintu bercat putih itu.

Tidak lama wanita arkais muncul dari balik pintu, senyum keibuan penuh kasih sayangnya mengembang saat melihat Pram.

Pram mencium punggung tangan Hasnia. "Masuk, nak. Freya di dalam, dia masih nangis abis di urut."

Pram mengekori Hasnia, sampai di ruang tamu barulah Pram melihat perempuan yang sangat ia khawatirkan dan ingin sekali ia temui. Wajah Freya terlihat muram, bibirnya cemberut kesal, hidungnya memerah, matanya pun sembab, dadanya naik turun tidak beraturan- sepertinya sesenggukan akibat menangis.

"Udah dong, Fey. Nggak malu tuh sama Pram." goda Hasnia.

"Freya males sama Nena, sakit banget tau kaki Freya di tekan-tekan gitu." rajuk Freya, lalu menutup wajahnya dengan bantal yang sedari tadi ia peluk.

Hasnia menggeleng pelan melihat tingkah kekanakan cucunya itu, lalu berjalan ke dapur untuk melanjutkan acara memasak nya yang sempat tertunda.

"Fey, lo masih mau nangis gitu?" tanya Pram, hati-hati.

Freya menggeleng, "Gue malu, muka gue jelek abis nangis." ujar Freya.

"Nggak kok, biasa aja." ujar Pram sungguh-sungguh, bahkan menurutnya Freya tetap cantik walau dalam keadaan menangis.

Freya menjauhkan bantal yang tadi menutupi wajahnya, "Sumpah sakit banget, Pam. Semalem gue cuma nyeri di bagian pergelangan kaki tapi tadi di urutnya seluruh kaki dan itu sakit semua." jelas Freya.

"Terus sekarang, masih sakit?" tanya Pram, memerhatikan pergelangan kaki Freya yang disangga menggunakan bantal.

Freya mengangguk. "Masih, dikit. Tapi kata tukang urutnya, sakitnya tuh efek pijatannya gitu, nanti juga ilang."

"Dipakai jalan, bisa?" tanya Pram

"Bisa, tapi masih lumayan sakit."

"Kenapa bisa sampe gitu?"

"Mm, semalem tu gue nggak se--" suara dering ponsel milik Freya, menginterupsi ceritanya.

Freya meraih ponsel yang berada di meja, layarnya menyala menampilkan panggilan masuk dari Barry. Freya menatap kearah Pram lalu menunjukkan layar ponsel kearah Pram.

Pram menggeleng, mengisyaratkan supaya Freya tidak perlu mengangkatnya namun terlambat.

"Halo, ada apa, Bar?"

"Lo lagi sama Pram ga, Fey?"

Freya refleks mengangguk walaupun Barry tidak akan bisa melihatnya. "Iya, ni orangnya di depan gue."

"Fey, dia cabut sparing. Tolong banget suruh balik ke sekolah, ya." pinta Barry.

"Iya, Bar. Nanti gue bilangin."

"Oke, thank you banget, Fey."

Sambungan telepon terputus. Freya menatap kearah Pram dengan pandangan kesalnya.

"Lo bohong ya, Pam. Dasar! Bilangnya nggak ada sparing, taunya cabut." cibir Freya. "Udah gih sana," usir Freya

"You okay? Gue tinggal nih?"

"I'm totally okay. Gue nggak mau ya nonton turnamen nanti, tapi tim lo kalah gara-gara kurang latihan." ejek Freya.

Pram mengangguk, baiklah ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh supaya bisa memenangkan pertandingan saat turnamen nanti.

"Pulang sparing, nanti gue balik lagi. Kita ke woody's." ujar Pram, mengacak rambut Freya pelan lalu meninggalkan Freya dengan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.



•••






Post a Comment

0 Comments