WABGF |chapter 2|


Stairwell High School, 2021


"Lo cepetan dong, Pam. Keburu bel, nih." ucap Freya dengan langkah cukup cepat.

"Bentar, tali sepatu gue copot," Pram menekuk kedua lututnya, lalu mengikat tali berwarna hitam itu cukup kuat.

Freya tidak menghentikan langkahnya ataupun berniat menunggu Pram, ia hanya terus berjalan di koridor, melewati beberapa kelas dan ruangan lain.

"Buru-buru amat sih, neng." goda Pram, menyamai langkah panjang nya dengan langkah pendek milik Freya.

"Brisik lo, nang-neng nang-neng. Gue disuruh bu Betrin bawain paket biologi ke kelas, abis istirahat langsung pelajaran nya dia." 

"Kenapa nggak si Yaksha aja? Dia kan, ketua kelas." 

"Kenapa? Lo nggak ikhlas nolongin gue? Yaudah sana-sana gausah," usir Freya kesal.

"Yee, kan gue cuma nanya. Gue mau kok bantuin lo," Pram mengaitkan lengan kanan nya di bahu Freya, merangkul nya.

Sesampainya di ruang guru, Freya dan Pram menghampiri meja bu Betrin dan mengambil sebanyak dua puluh lima buku paket yang akan digunakan oleh kelas Freya. Setelah itu mereka keluar dengan Pram yang membawa dua puluh buku di tangan nya dan Freya hanya lima buku saja.

"Buruan, Pam," titah Freya.

"Fey, gue dari tadi nyamain langkah kaki pendek lo itu ya. Kalau gue nyesuai-in langkah kaki gue juga cepetan gue." protes Pram.

"Dasar, kaki shaming!" Freya menghentikan langkah nya, membuat Pram juga berhenti.

"Nih, sekalian aja lo yang bawa semua." Freya menaruh buku di atas dua puluh tumpukan buku yang dibawa oleh Pram.

Sampai di kelas Freya yang berada di lantai dua, Pram menaruh buku paket di meja guru sedangkan Freya berdiri di luar dan bersandar di dinding yang menghadap langsung ke gedung seberang juga menampilkan pemandangan lapangan upacara.

"Masih ada lima belas menit lagi, lo mau ke kantin?" Freya menggeleng.

"Besok, jangan lupa latihan renang." ingat Pram.

"Yah, gue kan ada rapat OSIS."

"Lo baru bilang, terus mau ganti hari apa?" tanya Pram

"Hari ini aja deh, gue kosong kok."

"Oke, gue ke kelas dulu." 

Freya mengangguk, "Thanks, Pram. See you."

•••

Freya menutup mulut nya yang menguap lebar menggunakan punggung tangan sebelah kiri, tiga jam waktu pelajaran biologi selalu terasa lama dan ini baru setengahnya waktu berlalu. Freya melebarkan kedua matanya menggunakan jari telunjuk dan jempol, membuat Yaksha sukses tertawa, namun dengan suara yang tertahan.

"Yaksha, apa yang kamu tertawakan?" suara bu Betrin sukses membungkam tawa Yaksha, kini bergantian Freya yang terkekeh pelan.

"Nggak kok, bu." jawab Yaksha takut-takut.

"Mampus lo, ngetawain gue sih." bisik Freya.

"Baik anak-anak, setelah menonton video terjadinya pembuahan atau fertilisasi antara sel telur dan sel sperma di dalam ovum tadi, apa kesimpulan yang kalian dapatkan?" tanya bu Betrin.

Yaksha yang di tatap langsung oleh bu Betrin, menggaruk tengkuk nya yang tak gatal. Ia kebingungan. karena selama video pembelajaran berlangsung, Yaksha hanya menggambar abstrak di lembar paling akhir buku tulis biologi nya.

"Bantu jawab, bu." ucap Freya, sembari mengangkat tangan nya.

"Silakan, Freya,"

"Kesimpulannya, fertilisasi terjadi di ovum saat sel gamet perempuan dan laki-laki bertemu lalu menghasilkan sel baru yang disebut zigot. Zigot akan terus berkembang menjadi embrio dua sel, tiga sel, compact morula, blastocyst. Jika proses pembuahan berhasil dan embrio berkembang normal, maka wanita akan hamil. Jika pembuahan dan perkembangan gagal, maka wanita akan kembali mengalami menstruasi." jelas Freya.

Bu Betrin tersenyum, "Baik, terima kasih, Freya."

"Baik anak-anak, masih ada satu jam waktu mata pelajaran saya. Tulis kembali kesimpulan video tadi di buku catatan kalian, lalu lengkapi LKS hal. 25."

"Baik, bu." jawab satu kelas, serentak.

"Fey, bagi tugas yuk!" 

Freya menatap LKS milik Farah, "Yaudah lo PG, Gue essay nya aja, Far."

Farah mengangguk, lalu mengacungkan kedua jempolnya.

"Mau ngapain lagi, Yaksha?" tanya Farah, Freya pun menatap Yaksha dengan kedua tangan yang menutupi LKS nya.

"Kan lo berdua udah bagi tugas, berarti gue bagian lihat aja kan, ya." Yaksha cengengesan.

"B--sdklscnlsdkjd" mulut Farah di bekap pelan, saat ia ingin berteriak mengadu pada bu Betrin soal kelakuan Yaksha.

Freya tertawa pelan, "Emang ya lo Yaksha, udah kerjain dulu sendiri. Nanti kalau nggak nemu baru lihat jawaban gue sama Farah."

Farah mendengus sebal, "Najis, tangan lo bau bawang, bloon."

Freya kembali tertawa melihat pedebatan antara Yaksha dengan teman sebangku nya itu, lalu kembali fokus mengerjakan LKS.


•••


Pram duduk di bangku paling depan bersama Barry, sedangkan Diko duduk tepat di belakang Pram dan Barry bersama Farhan. Jam pelajaran ketiga hari ini adalah pelajaran sejarah, diajar oleh Bu Endang- guru favorit Pram. Bu Endang adalah salah satu dari sekian banyak guru yang menjadi guru kesayangan di jurusan IPS. Pembawaannya yang tegas dan berwibawa namun sangat keibuan itu, membuatnya disegani sekaligus disenangi oleh banyak murid. Bu Endang selalu bisa menyederhanakan kalimat yang sulit di maknai, sehingga penjelasannya setiap kali mengajar dapat dicerna dengan baik oleh Pram maupun teman satu kelasnya yang lain. 

"Selamat pagi menjelang siang, anak-anak."

"Pagi, bu." jawab satu kelas serentak.

"Sebelum berdoa, Ibu minta tolong ambil sampah yang tergeletak di lantai dan kolong meja kalian ya. Lima menit dari sekarang." titah Bu Endang.

Beberapa siswa maupun siswi yang berada di ruang kelas tersebut, berjalan keluar untuk membuang sampah. Pram, Diko, Barry dan Farhan tetap duduk di kursi mereka karena tidak terdapat sampah di kolong meja atau pun kursi yang mereka tempati. Barry iseng melihat ke kolong meja milik Farhan, lalu tertawa.

"Bu di kolong meja Farhan, ada batagor kuah nya Mang Dadang, bu!!" adu Barry, membuat satu kelas tertawa gaduh.

"Wah berarti satu kelas mau lo traktir batagor kuah, ya, Han?!" celetuk Diko, membuat satu kelas semakin riuh.

Bu Endang hanya mengelengkan kepala, melihat kelakuan murid di kelas nya.

"Hsstt, sudah, sudah. Farhan lain kali, nggak ada makanan di kolong meja lagi." ingat Bu Endang, pada Farhan.

"Siap, bu!"

"Ayo kita berdoa terlebih dahulu."

"Selesai. Baik, Kita buka buku paket, bab 3 mengenai perkembangan kolonialisme dan imperialisme Eropa di indonesia."

"Ibu berikan waktu selama lima belas menit untuk membaca secara mandiri, setelah itu akan ibu jelaskan." 


•••

Freya melangkah keluar kelas, lalu berjalan sendirian menyusuri koridor. Waktu menunjukkan pukul empat sore, sekolah sudah cukup sepi, hanya ada beberapa siswa ataupun siswi yang masih berkegiatan. 

"Fey!!" sapaan cukup keras dari seorang lelaki yang sangat Freya kenali, membuat nya otomatis tersenyum dan membalas lambaian tangan lelaki itu.

"Kata nya lo nunggu di kolam aja, kok kesini?" tanya Freya, ia cukup kaget melihat Pram berdiri menunggu nya di koridor- depan Lab. Biologi.

"Kalau lo diculik terus hilang, nanti gue susah nyari nya." jawab Pram, tidak sepenuhnya asal. Ia memang sengaja menyusul Freya karena meskipun sekolah ini aman tetap saja rawan jika keadaan nya sudah sepi begini.

"Ngaco, mana ada yang mau nyulik anak SMA? Udah gede gini."

"Anak gede apaan? Satpam aja ngira lo masih SD, apalagi penculik?" balas Pram, sengaja meladeni Freya.

"Iya emang, gue imut nya keterlaluan sih. Jadi gitu deh, banyak fans." ucap Freya penuh percaya diri namun Pram sadar, terselip nada kesal dalam kalimat nya.

"Iya deh, lo imut. Lagian gapapa juga lo tampilannya kayak anak kecil, kan jadi kelihatan awet muda" hibur Pram, saat melihat wajah cemberut Freya.

"Kok lo bisa tinggi banget sih, Pam. Padahal mama, papa lo nggak terlalu tinggi banget gitu" tanya Freya, tiba-tiba ia merasa penasaran.

Freya berjinjit, sambil meloncat pelan berusaha menyamai tinggi Pram namun sia-sia saja, Freya tetap jauh lebih pendek dibandingkan tiang listrik berjalan di samping nya itu.

"Ngapain sih, Fey. loncat-loncat gitu? Ntar jatuh, nangis," ingat Pram.

Namun Freya tak menggubris peringatan itu, ia hanya fokus membandingkan tinggi tubuhnya dengan tubuh jangkung milik Pram.

"Tinggi lo udah nambah lagi ya, lo udah ukur lagi belum?" 

Pram mengangguk, "Udah kemarin waktu abis olahraga, nambah tiga senti."

"Ha? Sumpah Pam, pantes aja kok lo kayak agak tinggian." ucap Freya tak percaya.

"Berarti tinggi lo sekarang 173 senti ya?" tanya Freya, memastikan.

Pram mengangguk, mengiyakan.

"Aaa, Pam, gue 153 senti doang, Nggak naik-naik. Masa udah beda jauh banget dua puluh senti, curang!" rengek Freya.

"Lo makan apa sih, Pam? Kalau gini, lama-lama gue cuma sebawah dada lo doang. Dasar tiang listrik!"

"Kenapa lo jadi uring-uringan soal tinggi badan sih, Fey? Kan lo udah oke, selama tinggi badan lo itu tidak menghambat cita-cita lo it's fine, kan?"

"Iya, Pramudito Aditya. Gue nggak insecure atau overthink, kok. Tapi leher gue pegel ya, setiap kali ngomong harus nengadah dulu gitu, tau ga?!"

Pram terkekeh, "Gue juga pegel ya, harus nunduk dulu tiap ngomong atau nyari lo. Karena kalau nggak nunduk, lo nggak kelihatan" balas Pram, tidak serius. Pram hanya senang saja menimpali pembicaraan melantur Freya.

"Bagus ya, Pam. Udah bisa jawab sekarang, padahal biasanya lo diem aja macem patung,"

Pram tertawa, "Gue seneng aja, kalau lo udah mulai banyak omong bawel gitu. Dang, too cute!"

Freya mencebikkan pipinya kesal, disusul kedua jari tangan Pram yang mencubit pipi nya.

"Tapi janji ya Pam, tinggi badan lo jangan naik lagi. Tungguin gue, kita tinggi badan nya harus naik barengan." 

Pram semakin mengeraskan tawa nya, permintaan tidak masuk akal itu membuat perutnya semakin geli karena tidak berhenti tetawa.

"Dih, ngapain ketawa sih. Gue serius, Pam, ish," kesal Freya.

"Iya, oke. Gue tahan nih, biar stuck di 173 senti. Kita tingginya naik sama-sama." ucap Pram, membuat Freya tersenyum puas.


•••



Freya berjalan ke arah loker miliknya di ruang ganti, ia mengganti seragamnya dengan celana legging selutut dipadu kaus hitam. Setelah masuk SMA, Freya lebih sering berlatih renang di kolam yang ada di sekolah, bersama Pram pastinya. Sejak kejadian empat tahun lalu, dimana Freya pernah tenggelam yang hampir saja merenggut nyawa nya, Ibu Freya- Nisrina langsung mendaftarkan Freya les renang supaya putri semata wayang nya tidak lagi mengalami kejadian mengerikan tersebut atau setidaknya Freya bisa menghindari hal tersebut. Sebelum memulai kursus renang nya, Freya terlebih dahulu konsultasi ke psikologi. Nisrina takut, Freya mengalami trauma atau ketakutan tertentu, namun ternyata hasilnya baik-baik saja. Freya tidak mengalami trauma atau hal buruk lain yang menyangkut psikis nya, sehingga Freya bisa langsung mengikuti kursus renang dan saat itu juga Freya tanpa sengaja bertemu kembali dengan Pram.


4 tahun lalu (maret, 2017)

 Freya berjalan di tepi kolam, ia hendak menuju kolam yang kedalaman nya lebih dangkal. Freya kesal, karena Nisrina terus menyuruhnya untuk berani. Padahal Freya belum terlalu bisa dan mampu menguasai gaya renang yang paling mudah, yang sudah di ajarkan oleh coach nya. Lagi pula, Freya agak kesulitan karena kaki nya tidak menyentuh lantai dasar, sehingga susah bernapas karena bagian dada hingga leher terendam dalam air.

“Fey, disana terlalu ramai. Nanti kamu nggak fokus belajar Gerakan renang nya.” Ujar Nisrina.

“Freya takut tahu, bu. Lagian yang tadi itu terlalu dalam kolam nya, kaki Freya nggak sampai.” Jelas, Freya dengan raut wajah agak kesal.

“Nanti juga kamu terbiasa, itu coach kamu kan disana. Udah ayo,” ajak Nisrina. Akhirnya Freya mengalah, ia naik ke permukaan lalu kembali ke kolam dengan kedalaman 2 meter.

“Udah tunggu coach kamu, ibu mau ambil handuk dulu.” Nisrina berjalan ke meja, tempat ia menaruh barang bawaan dan baju ganti Freya.

Byur!!

Tubuh Freya jatuh ke dalam kolam, terdorong oleh anak-anak yang sedang berlarian. Freya terus menggerakkan tangan dan kaki nya, tapi ia terlanjur panik dan seluruh badan nya berada dalam air. Freya pasrah, ia sudah mulai kehabisan napas nya. Tapi tidak lama, lengan nya ditarik ke permukaan. Freya menghirup oksigen sebanyak-banyak nya, ia batuk pelan bersamaan dengan air yang keluar dari mulut nya. Hidung bagian dalam dekat kepala nya terasa nyeri karena kemasukan air kolam.

Freya melirik lelaki di samping nya, lalu menautkan kedua alis nya bingung. “Elo?!”

“Ngapain lo disini?” tanya Freya penasaran.

“Iya sama-sama.” Ujar laki-laki itu, membuat Freya kembali menampilkan raut wajah bingung nya, namun seketika sadar atas apa yang dimaksud oleh lelaki di samping nya itu.

“Iya, deh. Makasih udah nolongin gue. Lo ngapain disini?” tanya Freya.

Laki-laki itu menunjuk ke arah anak kecil yang sedang berenang, dengan pelampung renang di kedua lengan nya. “Gue ngajarin mereka renang.”

Freya menganggukkan kepala nya pelan, “Maaf soal kemarin. Gue udah sampein ucapan terima kasih lo kok, ke Nena.” Jelas Freya.

Pram mengangguk, “Kayaknya kita bakal sering ketemu deh.”

“Kenapa bisa sering?”

Coach kita sama, dari kelas satu SD gue udah mahir renang dan sampai sekarang gue jadi suka ikut Pak Imron juga ngelatih renang anak-anak.” Jelas Pram, Freya tersenyum.

“Boleh nggak kalau lo ajarin gue juga?” pinta Freya.

“Oke.”

Freya menyudahi lamunan nya, ia kembali melipat baju seragam yang sebelumnya telah digunakan dan menaruh nya ke dalam loker.

“Fey, lo masih lama?” pekik Pram, dari luar ruang ganti.

“Udah ini, sebentar.” Freya berjalan cukup cepat lalu mendudukkan diri di pinggir kolam, sebagian kaki nya masuk ke dalam air.

“Ayo turun, coba lo renang gaya dada sampai ujung. Gue mau lihat, lo maju atau nggak.” ucap Pram.

“Bentar, gue pemanasan dulu.”

Freya melakukan pemanasan, sedangkan Pram berada di dalam air, berenang dengan berbagai macam gaya. Setelah menyelesaikan pemanasan nya, Freya langsung masuk ke kolam.

“Ayo, cepet.” Titah Pram.

Freya mulai berlatih dengan arahan dari Pram, “Kaki lo diem, Fey. Tangan lo dua-duanya ke samping jadi kayak lagi belah air, supaya badan lo lebih cepet maju nya.”

Freya mengangkat kepala nya ke permukaan, lalu menghirup oksigen sebanyak-banyak nya. Napas nya terengah, “Maju, nggak, Pam?”

Pram menggeleng, “Badan lo emang gerak, tapi dari tadi di situ-situ aja.”

Freya menggembungkan kedua pipinya, “Udah ah, gue capek, laper juga. Besok lagi aja ya, Pam.”

“Kalau besok terus kapan bisa nya?”

“Kalau besok terus kapan bisa nya?” Freya meniru jawaban yang biasa Pram lontarkan, sehingga mereka berbarengan mengucapkan kalimat yang sama, lalu tertawa.

Pram hanya bisa menggeleng, melihat kejahilan Freya terhadapnya.

“Oke, besok lagi harus bisa. Gue nggak akan berhenti ngajarin lo, sebelum lo bisa.”

Freya memutar bola matanya malas, “Injih, SUHU.” Jawab Freya, setengah meledek Pram.

 

•••

 

Pram membawa nampan yang berisi makanan pesanan nya dan Freya, dengan wajah sumringah dan mata yang berbinar, Freya mengambil pesanan milik nya.

“Ini spicy, kan?” Pram mengangguk.

“Aaa, nggak mau paha bawah.” Ucap Freya sembari melirik fried chiken milik Pram.

“Mau dada, Pam.” pinta Freya.

“Dasar banyak mau!” beo Pram, sembari menukar fried chiken miliknya dengan milik Freya.

“Terima kasih.” Freya menepuk kedua telapak tangan nya pelan dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Ini buat lo, deh.” Freya memberikan kulit dari fried chiken yang sudah ia lepaskan dari daging nya ke wadah milik Pram.

Mubadzir, Fey.” Ingat Pram.

“Lo kan suka kulit, Pam. Gue nggak suka.”

“Yee, biasa aja juga. Lagian gue selalu makan kulit yang lo kasih juga bukan karena suka, sayang, Freya. Makanan nggak boleh kebuang sia-sia.”

“Iya, Pam. Tau kok, makanya gue buang ke perut lo.” Jawab Freya.

Pram mendengus pelan, lalu mengacak rambut Freya dan dibalas pelototan oleh pemiliknya.

“Pam, ish. Beran—”

“Bawel ah, udah makan cepet.” Potong Pram, membuat Freya cemberut kesal lalu fokus pada makanannya sendiri.

Freya membuka bungkus nasinya, membagi dua nasi yang bentuknya mirip dengan rumah Patrick dalam cartoon Spongebob itu lalu memberikan nya pada Pram. Freya memang tidak pernah bisa makan terlalu banyak, ia biasa makan dengan porsi lebih sedikit dari porsi orang normal biasanya. Apapun makanan nya, pasti Freya akan memberikan sebagian porsi miliknya pada Pram.

“Pam, kok walaupun lo makan nya banyak, udah gitu makan porsi gue juga tapi nggak gendut sih?” Freya bicara dengan mulut mengembung, penuh makanan.

“Makan dulu, nanti lo keselek, Fey. Kebiasaan,” Ingat Pram dengan wajah geram nya.

Freya mengunyah makanan dalam mulut nya dengan cukup cepat, “Iya, udah. Terus kenapa, Pam, jawab dulu dong.”

“Gue kan tinggi, Fey. Lagi pula, kebutuhan nutrisi tiap orang beda-beda. Jadi kalau mau gendut, gue harus makan lebih banyak lagi dan inget, gue konsisten olahraga. Nggak kayak lo.” Pram mendorong dahi Freya pelan, sehingga kepala nya sedikit mendongak ke atas.

“Sialan, ish nggak sopan banget sih, Pam.” Protes Freya, namun tak dihiraukan oleh Pram.

“Gue tuh bukan nya nggak konsisten, Pam. Olahraga yang gue suka cuma jogging sama cycling. Lari pagi paling tiap sabtu-minggu, sepedaan pagi atau sore kalau gue lagi pengen.” Jelas Freya.

"Lo kan emang minat dan bakat nya di bidang olahraga, lagian lo olahraga nya tiap hari. Lebih intens dari pada gue." Tambah Freya.

By the way, Fey, Galih nggak pernah gangguin lo lagi, kan?” tanya Pram, serius. Pram terlalu takut, si brengsek Galih itu melukai Freya lagi. Galih adalah salah satu orang yang merundung Freya bersama Haura- teman satu kelas nya yang juga satu kelas dengan Freya saat SMP.

Freya mengaduk cola dalam gelas kertas kedap air di hadapannya menggunakan sedotan, lalu menggeleng pelan. “Udah nggak pernah, gue juga hampir nggak pernah ketemu dia di sekolah atau di luar sekolah.” Jelas freya yang membuat Pram dapat bernapas lega.

“Lo nggak bohong kan, Fey?” tanya Pram memastikan, sembari menatap wajah Freya lekat-lekat.

“Gue nggak bohong, Pramudito.”

“Kalau diapa-apain langsung bilang, gue nggak mau ya lo pendem sendiri kayak waktu dulu.”

Freya mengangguk sembari tersenyum lembut, dalam hati ia selalu bersyukur memiliki seorang Pram sebagai sahabat nya. Terkadang Freya berpikir, bagaimana jadinya jika ia tidak bertemu Pram? Akan seperti apa hidup nya? Freya juga selalu berandai. Andai ia bisa lebih awal bertemu Pram. Sejak lahir mungkin? Atau saat ia berada dalam kandungan ibu nya, lalu ibu nya bertemu mama nya Pram yang sedang mengandung juga, lalu memutuskan untuk menjadikan anak mereka masing-masing sebagai sahabat.

“Fey!” Freya tersadar saat Pram memanggilnya cukup kencang.

“Yee, bengong aja lagi lo. Ayo pulang.” Ajak Pram.

Freya bangkit, lalu mengekori Pram menuju pintu keluar dan berjalan sedikit kearah halte lalu menaiki bus umum karena Pram maupun Freya tidak membawa kendaraan pribadi.

 

••• 

“Kok baru pulang, Fey?” tanya Nisrina.

“Tadi makan dulu di mekdi sama Pam.” Jawab Freya singkat.

Nisrina menatap Freya yang terus berjalan menuju kamarnya di lantai dua, dengan kedua tangan menjinjing tote bag yang terlihat cukup berat.

“Kamu nggak mau duduk dulu, atau cerita apa gitu tentang hari ini?

Freya menggeleng, “Nggak bu. Freya mau ngerjain tugas terus istirahat. Maybe next time.” Ucap Freya, tersenyum kearah Nisrina.

“Oke, nugas nya jangan terlalu larut. Jangan banyak main gadget. Selesai ngerjain, langsung tidur.” Ingat Nisrina.

Freya mengacungkan ibu jarinya, lalu menaiki anak tangga dan masuk ke kamar nya. Freya menggantungkan tas nya, lalu merebahkan diri di atas kasur queen size miliknya. Ia sebenarnya ingin langsung tidur saja, namun karena badan nya terasa lengket dan berkeringat, Freya langsung bangkit berusaha menghempaskan rasa malas yang menggerogoti nya dan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Freya menggosok rambut basah nya, ia mengenakan training hitam dan hoodie berwarna abu-abu yang baru saja ia beli di toko online. Freya membuka laptop nya, melihat jadwal di salah satu aplikasi yang sering di gunakan nya. Tugas nya untuk besok adalah membuat mind mapping rumus-rumus turunan fisika di kertas karton. Freya menghembuskan napas nya kasar, ia terlalu malas kalau harus ke tukang foto copy dan membeli seluruh alat yang di butuhkan, belum lagi menghias nya menjadi se-kreatif mungkin. Namun seketika Freya bergidik ngeri, membayangkan wajah marah bu Vera- guru fisika nya yang sangat killer itu. Freya lebih baik merelakan waktu istirahat nya untuk mengerjakan tugas, dari pada kena semprot.

Freya mematikan laptop nya, lalu bersiap. Freya memasukkan beberapa barang yang dibutuhkan nya ke dalam tas berbentuk dinosaurus berwarna hijau tua itu seperti, uang juga ponsel. Freya menuruni anak tangga dengan tas gendong di punggung nya.

“Mau kemana, Fey?” tanya Nisrina, menatap Freya bingung. Putri semata wayang nya itu berpenampilan cukup rapi walau hanya mengenakan celana training dan hoodie dengan tas gendong yang tersampir di kedua bahu nya.

“Ke tukang foto copy, bu. Mau beli karton buat nugas, sama pretelan yang lain.” Jelas Freya.

“Tunggu sebentar, ibu telepon pak Aryo. Biar dia antar kamu.” Nisrina menatap layar ponsel nya serius, mencari nomor kontak supir pribadi keluarga nya.

“Nggak usah deh, Bu. Kalau nunggu pak Aryo pasti lama, udah ya, Freya berani kok sendiri. Freya naik sepeda,” ucap Freya lalu mencium pipi Nisrina.

“Hati-hati. Pak Aryo yang jemput pulang nya. Sepeda nya nanti kamu masukin ke bagasi mobil.” Pesan Nisrina. Ia terlalu khawatir, takut putri nya itu kenapa-napa.

Freya mengayuh sepeda nya dengan kecepatan standar, ia menikmati angin malam yang terasa segar dengan alunan music dari earphone di kedua telinga nya. Freya melewati beberapa rumah yang ukuran nya sekitar dua kali lipat atau tiga kali luas rumah nya, ia sengaja memilih rute jalan ini walaupun perjalanan nya menuju toko foto copy akan lebih jauh tapi Freya senang menatapi rumah-rumah besar dengan lampu yang sangat terang. Komplek ini memang di huni oleh kalangan kelas atas, sebelum orang tua nya bercerai pun Freya pernah tinggal di salah satu jajaran rumah mewah yang berada di kompleks ini namun setelah perpisahan kedua orang tua nya, Nisrina- ibu Freya memutuskan untuk pindah rumah.

Buk! Plak! Brakh!

Freya menghentikan kayuhan nya, ia meminggirkan sepeda milik nya lalu berjalan pelan dan bersembunyi di sebuah pohon hias yang cukup rindang. Freya berpikir keras, seperti ada suara orang terjatuh atau di pukul. Freya mengeluarkan ponsel dari tas nya lalu menyingkap daun dan ranting dari pohon hias yang menghalangi penglihatan nya.

Freya menutup mulutnya yang refleks ingin memekik, seorang lelaki paruh baya sedang memukuli dan menendang laki-laki yang Freya pikir seumuran dengan nya. Freya membuka fitur kamera dengan tangan yang gemetar hebat, ia mulai mengambil video penyiksaan tersebut lalu menyimpan nya. Ini bisa jadi bukti, untuk melaporkan pria paruh baya itu ke polisi- pikir Freya. Freya langsung memasukkan ponsel nya ke dalam tas lalu mencari sebuah batu berukuran sedang, di genggam nya batu tersebut dengan erat. Freya mengumpulkan keberanian nya, ia harus menghentikan kekerasan itu.

“STOP!” Freya memekik kencang dengan wajah yang ia buat se-sangar mungkin meski Freya sendiri terlampau takut.

Bug!

Freya memukul punggung pria paruh baya itu menggunakan batu yang di genggam nya.

 “Ayo, kabur. Lo bisa jalan, kan?” tanya Freya

 Lelaki yang tadi nya terduduk tak berdaya di tanah itu langsung bangkit, ia menarik lengan Freya kuat dan membawa Freya berlari menjauh bersama nya.


•••







Post a Comment

0 Comments