We've always been good Freya
WABGF |chapter 1|
4 tahun yang lalu (Maret, 2017 at 04.47 PM)
Langit sore hari ini begitu cerah, gumpalan awan yang seperti gula kapas membuat siapapun berimajinasi untuk memakannya. Freya melangkahkan kaki dari kelas hingga gerbang utama sekolahnya dengan penuh semangat. Pas sekali. Tidak ada les, kumpul kandidat pengurus OSIS ataupun kumpul ekskul, jadi ia bisa pulang dan langsung ke basecamp.
Mobil land rover range rover evoque berwarna hitam berhenti tepat di depan sekolah, Freya langsung saja masuk dan duduk di kursi belakang.
"Selamat sore, Pak Aryo." sapa Freya ramah.
Lelaki paruh baya yang baru saja Freya sapa adalah supir pribadi keluarganya, sudah genap sepuluh tahun Pak Aryo bekerja disana.
"Sore, Non. Non Freya mau pergi kemana?"
"Langsung pulang aja, Pak. Tolong agak cepat."
Sesampainya di rumah, Freya langsung masuk dan menuju kamarnya di lantai dua. Ia mengganti seragamnya dengan pakaian kasual lalu menuruni anak tangga dengan langkah cepat, Freya tidak mau membuang satu detik pun waktu yang ia miliki jika menyangkut langit sore di Dermaga. Tepat di depan sebuah pintu, langkah Freya terhenti. Suara dering ponsel dari kamar, menginterupsi nya. Tanpa ba-bi-bu, Freya masuk dan menghampiri nakas di samping ranjang. Ipad milik Sang Ibu tergeletak di atasnya dengan layar menyala, menampilkan sebuah email masuk.
Bukti dan berkas posita (dasar/alasan gugat)
Freya hanya menatap layar ipad dengan tatapan yang tak dapat di artikan, mata nya mulai berkaca. Jemari Freya tergerak untuk menekan opsi open, dan membaca nya.
•••
Freya berdiri di dinding pembatas dermaga, angin laut yang cukup kencang menerpa nya. Butiran bening terus luruh dari mata lalu mambasahi kedua pipi nya. Ada beberapa hal yang memang tidak harus kita ketahui, supaya hidup lebih damai dan tenang meski kita pantas mengetahuinya. Freya menyesal telah membuka dan membaca keseluruhan isi file di ipad milik ibu nya, karena setelah mengetahui hal yang sejak dulu ia ingin ketahui, nyatanya tidak memberikan perasaan yang lebih baik melainkan membangkitkan amarah yang semakin berkobar. Freya marah sekali, ia kesal, dalam kepala nya ia terus melontarkan pertanyaan, 'kenapa harus dirinya dan bukan orang lain saja yang merasakan kehidupan pahit seperti ini?', dan yang paling Freya tidak habis pikirkan adalah dia hanya bisa menangis ketika justru perasaan marah menguasainya.
Freya melangkah pelan ke tepian dermaga, tempat biasa ia duduk dan membiarkan kaki nya masuk ke dalam air. Freya sebenarnya takut, ia tidak bisa berenang. Freya selalu berhati-hati karena jika tidak ia akan jatuh dan tenggelam. Namun, kali ini yang ada dalam pikiran nya hanya 'Jika ia jatuh, apa dunia akan adil padanya dan tetap memberinya kehidupan?' atau bahkan 'Jika dirinya mati tenggelam, apa ayah nya akan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan nya?'. Jika hidup tidak seindah takdir Lee Young-Joon dan Kim Mi-so dalam drama 'what's wrong with Secretary Kim', apakah kematian dirinya akan memberikan pelajaran yang lebih indah dan berarti untuk ayah nya sendiri?
Freya menggelengkan kepala nya pelan, bunuh diri bukan jalan keluar. Jauh dalam lubuk hatinya, yang Freya inginkan hanya hidup tenang, kematian bahkan lebih menyeramkan baginya di banding hidup di dunia yang cukup kejam. Freya bangkit dari duduk nya, matahari sudah tenggelam sempurna. Saat membalikkan tubuh, nahas kaki sebelah kanan nya tersangkut dan membuat Freya terjatuh ke dalam air.
•••
"Pram, dermaga sepi gini mana ada yang lewat?" celetuk Barry
"Udalah cabut, besok kita shooting di Jembatan aja. Lebih banyak target nya." usul Diko.
Lelaki yang disapa 'Pram' dengan nama lengkap Pramudito Aditya itu hanya diam, ia masih penasaran dan ingin menunggu orang yang lewat untuk dijadikan target video social experiment suicide dalam channel youtube mereka. Melihat kedua teman nya yang sudah kesal menunggu, Pram mengalah.
"Ayo deh, beresin dulu tuh kamera. Kita lanjut besok."
Barry dan Diko mengangguk, mereka mengambil beberapa kamera tersembunyi dan merapikan semua nya.
"Udah, Pram. leggo!" Ajak Barry.
"Lo berdua duluan, gua ada urusan bentar." ucap Pram.
Sontak Barry dan Diko saling tatap, di Dermaga sepi ini seorang Pram ada urusan dengan siapa? apalagi matahari sudah sepenuhnya tenggelam, membuat susasana disini semakin seram dan mencekam.
"Pram, tiati. Nyi Roro Kidul masih beken." Beo Diko.
Pram hanya terkekeh, lalu menendang bokong kedua teman nya cukup kencang. Membuat Barry juga Diko mengaduh pelan.
"Gue ama Diko duluan, Pram. Jangan macem-macem lo," ingat Barry.
"Hem." jawab Pram sembari mengangguk cepat.
Sepeninggalan kedua kawan nya, Pram berjalan menyusuri pagar pembatas dermaga, ia tidak mau buru-buru pulang. Dermaga ini ternyata pilihan yang salah untuk mengambil video sosial eksperimen bunuh diri, karena tempat nya memang benar-benar sepi. Setelah tiga jam menunggu, hanya ada satu orang pria paruh baya yang lewat. Niat ingin menjadikan pria itu sebagai target harus pupus karena ketidak tegaan. Pria itu membawa kayu di bahu nya, berjalan pelan dan terlihat kelelahan. Jadi, tidak mungkin juga kalau ia dan teman-teman nya menjadikan pria tua itu sebagai target.
"Hiks, hiks."
Suara isak tangis menyadarkan Pram dari lamunan nya, Pram berjalan pelan mencari sumber suara namun, nihil tidak ada siapa-siapa.
"Tolsjdkhf--"
Suara riak air yang terdengar acak membuat Pram terus berjalan ke arah sumber suara. Sesampainya di ujung Dermaga, kosong. Tidak ada siapapun kecuali dirinya. Saat Pram ingin beranjak pergi dari Dermaga itu, sebuah sandal mungil yang tidak sengaja ia injak mengalihkan perhatian nya. Pram mengusap tengkuk nya sembari berpikir, apa pemilik nya lupa dan meninggalkan sandal begitu saja atau dugaan paling menyeramkan adalah pemilik sandal tersebut tenggelam. Pram menggeleng pelan, mana mungkin ada orang lain di Dermaga sepi begini, gumam Pram dalam hati.
Pram menatap air yang terlihat tenang di ujung Dermaga, perasaan nya menyuruh ia memeriksa ke dalam sana. Setelah berperang antara perasaan dan pikirannya sendiri, Pram membuka kemeja flanel yang ia kenakan, menyisakan kaus hitam dan celana jeans panjangnya lalu menyelam ke dalam air.
Bekerja keras untuk melihat dengan pencahayaan dalam laut yang sangat minim, Pram akhirnya melihat seorang perempuan lalu menarik lengan nya kuat. Secepat mungkin Pram berenang ke permukaan, Perempuan itu bisa kehilangan nyawa nya jika Pram tidak bertindak cepat. Pram menidurkan perempuan itu di pinggir Dermaga, ia mengenakan kembali kemeja flanel nya lalu menggendong ala bridal style perempuan yang tenggelam itu dan berlari secepat mungkin untuk membawa nya ke rumah sakit.
•••
Pram duduk sembari menautkan jemari nya di ruang tunggu rumah sakit, dada nya bergemuruh. Rasa takut dan khawatir menjadi satu, Pram memikirkan sudah berapa lama perempuan itu tenggelam? jika lebih dari tiga puluh menit, maka celaka. Pintu ruang Instalasi Gawat Darurat terbuka, menyadarkan Pram dari kecemasannya sendiri.
"Bagaimana, dok?" tanya Pram, dengan raut khawatir yang tampak jelas di wajahnya.
"Untunglah kamu membawa nya dengan cepat, ia selamat. Tidak ada luka atau kelainan serius, keluarga nya pun sudah datang." jelas dokter, singkat.
Pram menghembuskan napasnya lega, syukur lah jika perempuan itu masih hidup dan bernyawa. Pram menatap sandal bulu, berwarna putih, berbentuk kelinci di tangan nya.
"Sus, saya mau titip ini." Pram menyodorkan sandal itu dan sebuah notes di atasnya.
"Untuk perempuan korban tenggelam tadi, Mas?" Pram mengangguk.
"Baik nanti saya berikan."
"Terima kasih, Sus." ucap Pram, lalu berjalan menuju pintu keluar.
•••
4 tahun yang lalu (Maret, 2017 at 09.34 AM)
Freya mengerjapkan matanya, aroma karbol dari lantai berbaur dengan wangi obat-obatan yang sangat khas membuat Freya yakin bahwa ia kini sedang berada di rumah sakit. Freya berusaha bangkit dan bersandar di kepala ranjang walau kepala nya terlampau nyeri, seperti di hantam bebatuan.
"Sshh aawsh," ringis Freya, lengan nya refleks menekan pelipis nya.
Freya mengalihkan pandangan nya ke arah pintu yang terbuka.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar. Nena panggilkan dokter dulu."
Tidak lama Hasnia- Nenek Freya kembali ke kamar bersama dengan seorang laki-laki yang melempar senyum ramah nya kepada Freya.
"Saya periksa ya, Freya."
Freya mengangguk, lalu membiarkan dokter memeriksa nya.
"Tarik napas dalam, buang perlahan."
"Ada rasa sakit tidak, waktu tarik napas?" Freya menggeleng.
"Baik, bu cucu ibu baik-baik saja. setelah infus nya habis di perkenankan untuk pulang ke rumah dan usahakan istirahat yang cukup.
Hasnia menggangguk sembari tersenyum tulus, "Terima kasih, dok."
Sepeninggalan dokter, hanya ada Freya dan Hasnia di dalam ruangan itu. Freya menatap punggung Hasnia yang terlihat sedikit naik turun, lalu memeluk nya.
"Nena, nangis ya?" tanya Freya, ia tidak tega. Pasti selama tidak sadarkan diri, Nena nya itu khawatir setengah mati.
"Maafin Freya ya, Nena. Freya baik-baik aja kok. Maaf Freya buat Nena khawatir terus."
Hasnia mengusap pelan puncak kepala Freya lalu mencium dahi nya. "Nggak perlu minta maaf, makasih ya kamu sudah kuat dan bertahan. Nena takut sekali kamu kenapa-napa."
Freya tersenyum, lalu mengusap pelan lengan Hasnia.
"Nena nggak sempat nemuin orang yang nolong kamu, tapi dia nitip ini ke suster." Hasnia memberikan sandal kelinci milik Freya denga notes di atasnya.
Freya menatap sandal bulu berbentuk telinga kelinci itu, kembali mengingat kecerobohan nya sebelum tenggelam. Sandal sebelah kanan nya pasti tertinggal, tersangkut di permukaan- di sela kayu rapuh. Freya membaca tulisan di sebuah kertas kecil, terus menatapnya lalu butiran bening kemudian luruh.
I hope you stay alive, please survive.
Whatever feels burdensome, it will past.
''Fey, Nena pulang dulu boleh? Nanti Ibu mu yang jemput kamu, terus antar pulang juga."
Freya buru-buru mengusap kedua mata nya, menghilangkan jejak basah dari air mata yang sempat keluar. Ia lagi-lagi tidak mau membuat Nena nya khawatir.
"Iya, Nena hati-hati. Freya mau nginep di rumah Nena yaa, boleh ga?"
Hasnia mengusap helaian rambut Freya yang terasa begitu halus, "Boleh dong, nggak mungkin Nena larang."
Freya tersenyum. Dunia boleh berlaku tidak adil padanya, selama ia tetap memiliki wanita sebaik Hasnia sebegai Nenek nya. Sejak kecil Freya lebih banyak menghabiskan waktu nya bersama Hasnia karena kedua orang tua nya bekerja, wajar kalau Freya menganggap Hasnia- nenek nya adalah seorang ibu kedua.
"Ya sudah, Nena pulang yaa. Assalamualaikum." ucap Hasnia, setelah mencium kening Freya.
Freya kembali menatap secarik kertas di tangan nya, ia merasa sangat beruntung masih bisa selamat. kalimat yang tertera dalam kertas tersebut membuatnya sedikit lebih tenang, amarahnya sedikit menguap, Freya merasa sedikit lebih hidup. Meskipun semua perasaan baik yang ia rasakan hanya sedikit, namun hal itu terlampau berarti. Freya harus menemukan seseorang yang menolong nya, ia benar-benar berhutang nyawa dan akan berusaha membalasnya.
"Sus, saya boleh tanya?" Freya membuka suara, saat seorang suster masuk ke dalam ruang rawatnya untuk mengatur infus.
"Iya boleh, ada apa kak?"
"Suster yang dititipkan sandal dan juga notes ini bukan?"
Suster dengan nama Christina pada pin hitam di dada sebelah kanan nya itu mengangguk, "Iya, anak laki-laki menitipkan itu pada saya, saat kamu belum sadarkan diri."
"Dia laki-laki? Suster tahu nama nya?" tanya Freya lagi, penuh harap dan penasaran.
"Saya kurang tau, dia cuma menitipkan ini saja. Dia tinggi, rambut nya sedikit ikal, sepertinya seumuran kamu. Setelah itu, dia langsung pergi lewat pintu keluar IGD." jelas suster.
Freya mengangguk, "Kalau gitu, makasi banyak ya sus."
•••
Sore hari ini begitu cerah, tidak mendung, gelap, atau memunculkan tanda akan turun hujan lainnya. Pram, Diko, dan Barry melangsungkan rencana mereka kemarin, soal shooting video social experiment yang dilakukan di Jembatan Kota Intan, tempat biasa mereka mengambil video. Channel youtube mereka masih sangat baru, kurang lebih, jalan dua bulan. Subscriber nya pun masih di angka ratusan, belum sampai ribuan atau jutaan. Tetapi mereka cukup gigih, ketiga nya menyukai bidang yang sama, mempunyai tujuan yang sama, sehingga tidak masalah jika harus mengalami banyak tantangan dan kesulitan karena pasti akan mereka lalui bersama.
"Dik, ini kaga ada suaranya. Clip on nya rusak apa, gimana ni?" Tanya Barry kebingungan.
Diko tidak menggubris pertanyaan Barry, karena sibuk menyetel kamera utama dan kamera tersembunyi.
"Pram, ini rusak ni clip on nya." Barry menyodorkan benda berwarna hitam dengan kabel berdiameter kecil namun tidak terlalu panjang itu ke Pram.
"Yee, dodol. ini belum lo colokin," Pram akhirnya menyambungkan kabelnya, sehingga clip on bisa digunakan.
Barry menggaruk tengkuk nya yang tak gatal, "Gue kira nggak usah di colokin gitu juga udah bisa, jir."
Diko tertawa cukup keras, "Lah mana bisa, Paul. Ngaco aja lo, makanya kalau gua lagi jelasin kegunaan barang tuh lo dengerin."
"Udah, udah" Pram melerai.
"Lo kan, Bar yang in frame. Jadwal lo hari ini, karena kemarin gue ama Diko udah"
"Gantiin gua, Dik. Pas maren kan lo ga jadi, lagian nggak ada target juga." pinta Barry.
Diko merangkul Barry, "Heh, Barry bin Bara Maratex pengusaha Batu Bara, mana ada ganti-gantiin begitu. jadwal tetap gabisa di ubah lah."
"Udah, lo pegang kamera," Pram menunjuk Diko, "Elo, Bar, pantau kamera satu nya sama clip on. Jangan sampe nggak ke record."
Diko dan Barry mengacungkan kedua jempol mereka. lalu bersiap di posisi masing-masing. Tidak lama, ada target yang sangat pas. Seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan santai, sepertinya bukan hendak berwisata tapi hanya lewat saja. Pram langsung pura-pura memanjat pagar pembatas jembatan, berlaga kesulitan menaiki pagar tersebut. Padahal kaki panjang nya memudahkan ia untuk dengan cepat melewati pagar tersebut. Saat tubuh nya sudah menaiki pagar pembatas dan bersiap meloncat, lengan nya di tarik kuat.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya wanita paruh baya itu, sembari menarik lengan Pram, membawanya menjauhi jembatan ke tempat yang lebih aman.
"Apa kamu mengalami hal berat atau kesulitan? Apa ada hal yang nenek bisa lakukan untuk bantu kamu?" tanya wanita paruh baya itu, raut wajah nya begitu khawatir.
Pram menggeleng, "Saya g--"
"Ayo, kita bisa ngobrol sambil makan. Kamu bisa ceritakan, apa saja. Sekarang nenek jadi teman kamu."
Pram menunduk, dia bahkan tidak mampu mengucap satu pun kata. Butiran bening mulai luruh dan semakin menderas saat wanita paruh baya itu memeluk nya, menepuk bahu nya lalu mengusap punggung nya pelan, layak seorang ibu kepada anak nya. Pram membalas pelukan itu begitu erat. Bukan, ini bukan bagian dari acting nya semata. Pram seperti di tarik kembali pada ingatan yang sudah lalu, saat dulu ia berada dalam pelukan almarhumah nenek nya. Pram kembali di hantam rindu dan pelukan ini, pelukan hangat yang ingin ia rasakan selamanya, namun jelas tidak bisa.
"Ayo, mobil nenek ada di depan sana." wanita paruh baya itu menggiring Pram, menarik lengan nya menuju mobil yang terparkir di pinggir trotoar.
Pram berjalan mengikuti wanita tersebut, sembari menatap ke arah Barry dan Diko yang terlihat sangat kebingungan lalu memberikan kode bahwa dirinya baik-baik saja.
•••
Mobil yang Pram tumpangi dengan wanita paruh baya tadi, berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan dua lantai. Pekarangan nya cukup luas, seperhitungan Pram bahkan pekarangan nya jauh lebih luas dibandingkan dengan rumah itu sendiri. Terdapat banyak tanaman dan bunga. Pram mengekori wanita tersebut, hingga masuk ke dalam rumah dan berhenti di ruang tamu.
"Silakan duduk, nenek tadi sudah masak. kamu nggak usah takut, Nama nenek, Hasnia. Cucu perempuan nenek biasanya panggil nenek dengan sebutan Nena." jelas Hasnia.
Pram tersenyum, sembari mengangguk pelan. Hasnia berjalan ke arah kiri, Pram menebak sepertinya ke arah dapur. Pram menatap sekeliling, rumah ini di dominasi warna Cream dengan sedikit sentuhan warna Ocean blue, beberapa pigura seorang bayi perempuan tergantung di dinding. Pram terpaku pada satu pigura yang berada di atas nakas dekat sofa di sebelahnya. Dalam pigura tersebut, terdapat dua perempuan, ada seorang perempuan tersenyum ceria ke arah kamera sembari memeluk Hasnia. Pram mengambil pigura tersebut, mencoba mengamatinya dengan benar. Wajah perempuan yang tersenyum ceria itu mirip sekali dengan perempuan yang tenggelam di Dermaga. Bukan nya ini yang gue tolong kemarin? Apa dia yang di maksud cucu nya nenek Hasnia? - Gumam Pram dalam hati.
"Itu foto cucu nenek, nama nya Freya. Dia anak yang ceria dan periang. Sepertinya kalian seumuran." ucap Hasnia, sontak mengejutkan Pram dari lamunan nya.
Pram menatap Hasnia, "A-apa dia di Rumah Sakit sekarang?" tanya Pram, ragu.
Hasnia mengangguk, "Kok kamu bi--"
"Nenaa, Freya pulaaanng."
Pram mengalihkan seluruh perhatian pada perempuan yang kini duduk tepat di samping Hasnia, lalu memeluk nya. Dugaan Pram benar, perempuan inilah yang ia tolong. Semua ini tiba-tiba dan mengejutkan Pram, apakah benar ini hanya sebuah kebetulan? Perempuan bernama Freya itu sepertinya belum menyadari kehadiran Pram di ruang tamu tersebut.
Setelah Freya melepas pelukan nya, Hasnia menatap ke arah Pram "Ini, Nena ketemu dia di jembatan Kota Intan." ucap Hasnia, pada Freya.
"Maaf Nena tadi lupa tanya nama kamu,"
"Oh, saya Pram, Nena. Pramudito Aditya." Pram tersenyum ke arah Freya di akhir kalimat nya.
"Ayo, kita makan dulu." ajak Hasnia.
Hasnia berjalan ke ruang makan, dengan Pram dan Freya berjalan mengekori nya. Freya duduk bersebelahan dengan Hasnia, tepat bersebrangan dengan Pram sembari menatap nya bingung.
"Nena dia siapa sih?" tanya Freya, berbisik.
"Nena ketemu dia di Jembatan, dia hampir aja bunuh diri." jawab Hasnia, balas berbisik dengan sangat pelan.
Freya cukup kaget, ia menatap Pram dengan tatapan iba. Acara makan berlangsung hening, sampai bunyi dering telepon milik Hasnia menginterupsi kegiatan mereka.
"Nena jawab telepon dulu, sebentar ya."
Sepeninggalan Hasnia, Freya benar-benar penasaran ingin bertanya dan langsung membuka suaranya.
"Lo--"
"Se--"
Pram dan Freya saling menatap bingung, mau bicara saja mereka sampai tidak sengaja berbarengan.
"Lo dulu,"
"Ladies first," ucap Pram.
"Kenapa nenek gue bisa ketemu lo di jembatan?" tanya freya
Pram mengusap tengkuk nya, ia bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Freya.
"Jadi, mm sebenarnya gue punya channel youtube. Gue lagi shooting Social Experiment Suicide, ta--"
"Terus lo nggak langsung bilang ke Nena, kalau cuma Social experiment dan bukan bunuh diri beneran?" tanya Freya, memotong penjelasan Pram.
"Gue nggak tega bilang nya, nenek lo tulus banget. Gue juga nggak dapat timing nya, untuk jelasin kalau itu social experiment doang."
Freya menggeleng pelan, ia tidak percaya laki-laki ini malah memanfaatkan kebaikan neneknya.
"Udah deh mending lo pulang, dan gue sebagai cucunya melarang lo untuk publish video yang melibatkan nenek gue di dalam nya." tegas Freya.
Freya bangkit dari duduk nya dan menarik paksa lengan Pram untuk mengikuti langkahnya. Freya membawa Pram keluar gerbang dan duduk di kursi kayu yang ada disana.
"Udah lo mending pulang, nanti biar gue yang jelasin ke Nena."
Pram mengangguk, ia tidak ingin berdebat lebih jauh. Sepertinya Freya sudah salah paham terhadapnya, Freya mungkin saja mengiranya memanfaatkan Hasnia.
"Oke, gue minta maaf soal ini. Tapi tolong sampaikan terima kasih gue ke nenek lo. Dia baik dan tulus banget, gue terbawa perasaan aja tadi." ucap Pram.
"Satu lagi, makasih juga lo udah bertahan dan selamat." setelah menyelesaikan kalimatnya, Pram meninggalkan Freya yang duduk termenung.
Apaan sih, bertahan dan selamat? maksudnya? Dasar aneh- gumam Freya.
•••


Post a Comment
0 Comments